Bangsa Terpuruk, Kearifan Lokal Harus Digali

Published on Oct 22 2Marsudi Wahyu Kisworo013 // Periskop

http://www.jejakbudaya.com/periskop/bangsa-terpuruk-kearifan-lokal-harus-digali

Pemasalahan Bangsa, terjadi Karena budaya dan kearifan lokal ditinggalkan, pendidikan karakter berkebangsaan dan budaya kepada anak-anak perlu diajarkan. Sayangnya sulit mewujudkan itu, karena para pemimpin dunia pendidikan lebih suka mengadopsi tata nilai barat.

Bagi Prof.Dr.Ir. Marsudi Wahyu Kisworo, budaya bangsa adalah nilai dan karakter sebuah bangsa yang terus hidup. Di titik ini budaya bakal terus berkembang, tumbuh dan tidak statis, tentunya ke arah yang lebih baik untuk menghidupkan sebuah bangsa.

Menurutnya, saat ini bangsa Indonesia banyak mengadopsi tata nilai dan budaya yang justru berasal dari luar negeri, terasa sangat tidak sesuai dengan kehidupan bangsa, meski diakuinya budaya tersebut tersebar dan sekaligus sebagai konsekuensi logis dari pergaulan antar bangsa di era globalisasi.

Perlunya penguatan nilai budaya bangsa bagi kalangan muda adalah solusi untuk mencegah degradasi moral lebih dalam. Nilai Budaya bangsa yang bersifat baik, sebenarnya masih banyak sekali dan menunggu digali, begitupun dengan nilai kearifan lokal yg tumbuh di masyarakat, nilai-nilai inilah yang seolah terpinggirkan.

Budaya Asing Bikin Limbung

Nilai budaya yang baik, kearifan lokal yang unggul, sesungguhnya adalah jawaban sekaligus pelindung yang ampuh bagi sebuah bangsa dari serbuan budaya asing yang datang. “Sayangnya, bangsa Indonesia melalui Orde baru gagal membuat perlindungan itu, jika tak ingin dikatakan sebagai agen pembawa kerusakan budaya,” kata lelaki lulusan sekolah teknik di Jerman ini.

Terlebih lagi, di periode sesudah proses reformasi, terjadi adopsi atas budaya asing yang tak sejalan dengan tata nilai budaya nasional dan terus masuk tanpa ada yang mampu memfilternya. Kebebasan yang diagungkan oleh dunia barat seolah menjadi candu yang memabukkan, hingga diterapkan pada semua aspek kehidupan. “Padahal budaya kita tidaklah demikian adanya,” kata Marsudi.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang guyup menyelesaikan semua persoalan lewat musyawarah, gotong royong, kebersamaan. Bukan bangsa yg tiba- tiba berubah disainnya menjadi bangsa yang terbuka habis, blak-blakan, dan individualis yang belakangan ini justru tumbuh subur dan melibas semua sendi kehidupan bagi anak bangsanya sendiri.

Buntutnya, semakin hari kita tak semakin kuat atau adaptif namun semakin tumbuh jadi bangsa yang limbung, tak tahu akar budaya dan identitas dirinya. “ Di sisi ini budaya kita memang perlu penguatan melalui aktualisasi kembali budaya dan kearifan lokal kita sendiri,” tutur ayah tiga putra ini.

Disamping ketidakmampuan menangkis serbuan budaya asing, Marsudi juga menyayangkan, budaya bangsa juga banyak yang menghambat kemajuan. Budaya buruk tersebut diantaranya : feodal, takhayul, KKN , serta klenik. Budaya seperti ini menurutnya menghambat ke arah kemajuan dan perlu dikikis.

Disitirnya pendapat dari seorang budayawan, Emha Ainun Nadjib. “ Pembangunan budaya sebuah bangsa memerlukan waktu yg sangat lama. Setidaknya perlu waktu 50 Tahun lamanya. Namun itu perlu dilakukan,” katanya.

Kembali Kepada Kearifan Lokal

Banyak sekali kearifan lokal nusantara yang luar biasa dan bisa digali menjadi sebuah nilai yang diterapkani kedalam kehidupan masyarakat agar bangsa ini bisa bangkit. Kearifan lokal tersebut tersebar mulai dari Sabang – Merauke. Dimisalkannya, petatah-petitih masyarakat adat Baduy, Awig-awig ( Lombok Barat dan Bali), Tri Hita Karana (Bali), Bersih Deso ( Jawa), dsb.

Yang paling sederhana dicontohkannya, kearifan lokal dari Jawa yang lainnya, berupa pandangan dalam hidup, ojo dumeh, yang sangat kontekstual dengan kehidupan kini, ojo dumeh memiliki makna jangan mentang-mentang. Memahami pengertian ojo dumeh akan menghindarkan diri dari sifat sombong, hingga penyalahgunaan wewenang. Keduanya, sombong dan penyalahgunaan wewenang, amat banyak terjadi belakangan ini.

Masih banyak nilai kearifan lokal yg bersumber dari budaya sendiri, dan sangat cocok jika dikembangkan di Indonesia terutama yang mengingatkan dan mengajak kepada kehidupan yg lebih baik. “ Kembali memberi apresiasi serta mengembangkan tata budaya lokal sendiri justru akan membuat kita jadi bangsa yg kuat,” katanya.

Dia juga menyampaikan kritiknya, sumber-sumber berkesenian yang memasukkan nilai-nilai budaya kearian lokal didalamnya juga perlu dikembangkan seluas-luasnya. Penyuguhannya jangan lagi terkungkung pada patron yang kaku. Jika ditujukan kepada kalangan muda sebaiknya disesuaikan dengan jiwa anak muda yang dinamis, instant, serta menyukai hal yang simple.

Jika itu bisa dilakukan, bukan tak mungkin pencerahan akan diperoleh bagi kalangan muda yang kedepannya akan mewarisi tongkat penerus bangsa ini , dari nilai budaya positif yg diteruskannya. Seni tak seharusnya menjadi sebuah hal yg eksklusif, yang hanya hidup di lingkungannya sendiri.

Lelaki yang juga pakar IT ini menyampaikan, “ Kita punya banyak cerita pewayangan yang sangat menarik, memiliki filsafat yang luhur, jauh lebih menarik ketimbang Film Harry Potter misalnya. Hanya memang perlu dipikirkan mengenai penyajiannya, agar disukai oleh kalangan muda,” ungkap Lelaki kelahiran Madiun ini.

Disamping itu, agar generasi muda bisa tumbuh menjadi generasi yg kuat, kini diperlukan pembangunan karakter kebangsaan dan budaya. Hal tersebut bisa dilakukan lewat lapangan pendidikan. Namun sayangnya, menurut Rektor Perbanas ini, pemegang kebijakan yang mampu melakukan hal tersebut adalah para pemuda Indonesia yagn justru memperoleh pendidikan tingginya di dunia barat. Karena itu disayangkannya pendidikan karakter yang berbasis budaya dan kebangsaan Nusantara, kecil kemungkinannya bisa diterapkan.

Pegang Budaya Jadi Bangsa Besar

Dicontohkannya, bangsa yang setia memegang nilai budayanya dan menjadi bangsa yang kuat, salah satunya adalah Jepang. Kendati Jepang mengadopsi banyak budaya bangsa lain, namun mereka kuat memegang tradisi budaya dan memeliharanya hingga kini.

Semenjak Restorasi Meiji puluhan tahun silam, Jepang justru menjadi negara yang sangat terbuka, mereka bangkit padahal sebelumnya sempat hancur lebur pada tahun 1945 oleh Bom Atom AS. Di Jepang berbarengan dengan restorasi Meiji , timbul kesadaran dari bangsanya untuk menjaga dan melestarikan nilai nilai budayanya sendiri hingga saat ini.

Generasi muda di Jepang menggunakan kemajuan teknologi dunia barat hanya sebagai sarana unuk belajar, Facebook, digunakan untuk belajar kelompok secara online. Namun di sisi lain mereka juga menjadi agen penjaga budayanya agar tetap lestari. Peran pemerintahnya juga sangat terlihat di titik ini.

Tak hanya Jepang, tetangga dekat Indonesia lainnyapun demikian, Singapura, sebuah negara kecil yang jadi sebuah negara yg maju. Pemimpin bangsanya, Lee Kuan Yeuw, mengambil peran mengedukasi rakyatnya.

Awalnya Lee melarang orang Singapura meludah sembarangan. Hal ini menurutnya adalah perkara sepele, namun akibatnya masyarakat Singapura jadi terbiasa diajak disiplin, negeri ini berubah jadi negeri yang bersih dan nyaman.

Berangkat dari kata-kata disiplin, dalam skala yang lebih besar, adalah disiplin menahan diri dari segala godaan. Jika hal tersebut dapat diterapkan dan melembaga pada setiap orang di negeri ini, bukan tidak mungkin takkan ada lagi korupsi. Hal ini perlu dibiasakan dan dilatih. Sama seperti yang sudah dilakukan oleh Singapura. (Andri Oktavia Hermawan)